Cerpen Sederhana Generasi Muda
Anak Jalanan
Aku merenggangkan kedua tanganku sambil menguap.
Perlahan aku buka mataku, aku melihat tong-tong sampah dan kardus-kardus yang
digunakan sebagai alas tidur aku dan teman-temanku.
Aku melihat teman-teman seperjuanganku masih tertidur
pulas beralaskan kardus tanpa bantal dan selimut. Sementara matahari mulai
memperlihatkan wajahnya di ufuk timur. Aku mencoba mengingat hal apa yang
terjadi tadi malam sebelum akhirnya, kami semua tertidur diatas kardus.
Ah, ya! Aku ingat! Kami dikejar-kejar oleh warga
karena salah satu dari temanku ketahuan mencuri demi mendapat makanan, aku tau
itu salah, tapi dalam keadaan kami yang seperti ini, hal itu adalah pilihan
terakhir kami untuk meneruskan hidup.
Aku biarkan teman-temanku tertidur, aku mulai berjalan
menuju pasar, manatau kalau rezeki, aku mendapatkan makanan untukku dan
teman-teman ku. Aku mulai mendatangi kedai-kedai dan bertanya apakah ada
makanan sisa yang tidak dimakan lagi? Mereka menjawab, “Yang namanya sisa,
pasti sudah masuk ke dalam tong sampah”. Aku coba mencari didalam tong sampah,
aku mendapatkan sebungkus nasi basi yang mungkin dapat menjadi pengganjal perut
kami yang kelaparan.
Aku kembali ketempat teman-temanku, aku melihat mereka
baru terbangun dari tidurnya, wajah mereka berubah senang saat melihat aku
pulang sambil membawa sebungkus nasi. Nasi basi itu kami makan bersama dengan
membaginya sama rata.
Setelah bungkusan itu licin, aku dan kedua temanku
segera memulai kagiatan kami. Mengamen. Kami selalu mengamen di berbagai tempat
yang tak tentu, kadang disana, kadang disini.
Penghasilan kami perhari biasanya sekitar 10.000 –
15.000 rupiah. Memang gak seberapa, uang itu hanya bisa kami gunakan untuk
menghidupi kami sehari-hari.
Hari ini, kami putuskan untuk berpencar, agar
pendapatan kami lebih banyak hari ini. Kami ngamen dari pagi sampai sore tanpa
istirahat. Saat matahari mulai tenggelam, kami kembali ketempat kami tidur tadi
malam.
“Kalian dapat berapa hari ini?” Tanyaku.
“Gak banyak sih, Cuma 10.000” Jawab Zaky.
“Aku 12.000” Sahut Fahri.
“Kamu berapa?” Tanya Fahri
Aku keluarkan beberapa uang seribuan dan uang selembar
50.000 dari dalam sakuku. Fahri dan Zaky terbelalak melihat uang berwarna biru
itu.
“Banyak banget!!” Air liur Zaky menetes melihat uang
itu. Fahri bergerak sedikit menjauh agar air liur Zaky tidak mengenainya.
“Kok kamu bisa dapatin uang sebesar itu sih?” Tanya
Fahri.
“Tadi, aku ngamen disamping mobil berwarna hitam,
terus aku ditanyain, nama, tempat tinggal, dan tinggal sama siapa? Semuanya aku
jawab jujur, terus aku dikasih uang 50.000 ini, waktu aku mau protes soal uang
ini, lampunya keburu hijau dan mobil itu langsung pergi” Aku menceritakan
semuanya.
“Jadi, mau kita apakan uang ini? Gimana kalau uang ini
kita pakai untuk senang-senang malam ini?” Zaky sepertinya mulai dikendalikan
oleh uang itu.
“Gak, uang ini akan aku simpan!! Mulai sekarang, kita
akan mulai menabung, agar masa depan kita cerah!!” Itulah saran yang aku
berikan. Fahri dan Zaky mengangguk setuju.
***
Sampai suatu hari, aku tidak ikut ngamen, karena aku sedang
sakit. Sudah dua hari Fahri dan Zaky pergi mengamen dan aku hanya tinggal di
lorong biasa tempat aku, Fahri dan Zaky tidur. Dipangkal lorong, aku melihat
sebuah mobil hitam terparkir disana. Itu.. itu mobil yang kemaren memberikan
aku uang 50.000 . Ada apa mobil itu parkir didepan lorong yang kumuh ini?
Kemudian, seorang pria paruh baya keluar dari mobilnya bersama seorang gadis
kecil yang mungkin sedikit lebih muda dariku. Aku ingat pria ini, dia lelaki
dermawan itu. Mereka berdua berjalan masuk ke lorongku yang sempit ini. Ada
apa?
Lalu, pandanganku tertuju pada gadis itu, ia tersenyum
padaku.
“Nak?” Pria itu memanggilku. Aku segera berdiri,
walaupun kondisiku masih belum begitu fit.
“Kamu Bayu kan?” Tanyanya.
“Ya, saya om” Jawabku, sambil sesekali melirik gadis
disebelahnya.
“Kenalin, ini anak om, namanya Suci.”Ia mengenalkan
anaknya. Gadis itu mengulurkan tangannya.
“Suci.”
“Bayu.” Aku menerima uluran tangannya dengan ragu.
“Nama om, Erawan. Kamu bisa panggil Om Iwan. Om kesini mau menjenguk kamu”
“Jenguk?”
“Iya, om udah dua hari gak lihat kamu di simpang lampu
merah tempat biasanya kamu ngamen, jadi om putusin buat kesini” Jelasnya.
“Kok om bisa tau, saya tinggal disini?” Pertanyaan ini
keluar dari mulutku
“Kan kemaren kamu yang bilang sama om, kamu tinggal
disini” Jawabnya. Aku hanya menyimpul senyum.
‘’Ohya, kenapa gak ngamen hari ini?” Tanyanya.
“Saya, agak gak enak badan om”
“Kamu sakit? Biar om bawa kamu ke rumah sakit ya?” Dia
menawarkan
“Eh, gak apa-apa om, gak usah, saya cuma sakit dikit
aja kok om..” Aku menolak tawarannya
“Kalau kamu biarain terus, nanti tambah parah, terus
kamu makin gak bisa beraktivitas” Ia bersikeras. Akhirnya aku menurutinya.
Setelah dokter memberikan obat kepadaku, kami segera
pulang ke lorongku. Selama dalam perjalanan, didalam mobil aku hanya diam
memikirkan sesuatu, aku memikirkan apa yang terjadi sebenarnya, tadi dokter
sempat berbicara panjang lebar dengan Om Iwan dan sesekali dengan ekspresi
cemas Om Iwan melirikku, apa ini? Tiba-tiba mobil ini berhenti didepan toko
buah. Om Iwan turun dari mobil dan membeli beberapa buah lalu kembali lagi ke
mobil.
Sesampainya di depan lorong, aku segera turun dan
mengucapkan terima kasih pada Om Iwan, lalu aku segera melangkahkan kaki untuk
masuk ke lorong.
“Tunggu, Bayu!” Om Iwan memanggilku. Aku berbalik
menghadapnya.
“Ada apa om?” Tanyaku.
“Ini, buah untuk kamu” Ia menyodorkan sekantong buah
kepadaku.
“Eh, gak perlu repot-repot Om, makasih” Aku
menolaknya. Tapi, dia malah menarik tanganku agar aku menerima buah itu.
“Gak apa-apa, ambillah” Akhirnya kantung berisi buah
itu berada di tanganku.
“Makasih banyak ya, Om” aku merasa segan dengannya. Ia
tersenyum sambil memegang bahuku dan ia segera masuk kembali ke dalam mobilnya.
Suci membuka kaca jendela mobilnya dan berkata, “Jangan lupa diminum obatnya
ya, semoga cepat sembuh” Aku hanya menanggapinya dengan senyum. Mobil itu pun
segera melesat pergi.
***
“Bayu!!!” Aku mendengar suara Zaky berteriak. Aku
terbangun dari tidurku.
“Kenapa ky?” Suara ku parau karena baru bangun tidur.
“Ini? Kamu pakai uang tabungan kita untuk beli semua
buah ini?” Suara Zaky makin meninggi.
“Enggak”
“Terus, kamu dapat uang darimana? Obat kamu juga,
banyak. Gak mungkin ada uang sekoper jatuh dari langit kan?!!”
“Zaky, dengarkan aku dulu!!”
“Jangan mentang-mentang kamu lagi sakit, kamu malah
sesukanya menggunakan uang tabungan kita!!!”
“Zaky!! Argghh” Aku mengerang, tiba-tiba aku merasa
sangat sakit di kepalaku. Aku terjatuh diatas tanah.
“Bayu!” Fahri segera menghampiriku.
“Kamu kenapa?” Tanya Fahri. Aku hanya terus mengerang
kesakitan, kemudian semuanya menjadi gelap.
***
Perlahan, aku buka mataku. Cahaya remang-remang di
tempat ini membuatku silau. Dimana ini?. Di sudut ruangan, aku melihat Zaky dan
Fahri tertidur diatas sebuah kursi panjang yang terlihat empuk, aku rasa
orang-orang menyebutnya sofa. Ruangan ini sangat asing di mataku. Tiba-tiba
pintu ruangan ini terbuka, Suci masuk ke ruangan ini.
“Kamu udah sadar ya?” Tanyanya sambil tersenyum. Aku
mengangguk pelan dan tersenyum kecil. Kemudian pandangaku beralih lagi pada
kedua temanku.
“Mereka teman kamu kan? Aku rasa mereka jagain kamu
semalaman dan gak tidur.” Ucap Suci.
“Mereka jagain aku?”
“Ya, tadi pagi, aku sama Papa mau lihat keadaan kamu,
terus aku sama Papa lihat mereka duduk disebelah kamu. Pasti mereka jagain
kamu”
Mata Zaky mulai terbuka, saat matanya telah terbuka
sempurna, ia segera bangun dari posisinya dan menghampiriku.
“Kamu baik-baik aja? Aku minta maaf. Semalam aku
kelelahan, makanya aku emosi. Aku lupa kamu lagi sakit, aku malah debat sama
kamu. Aku..
“Udahlah Zaky, gak apa. Aku udah maafin kamu. Aku tau
waktu itu kamu capek.” Aku langsung memotong ucapannya. Zaky langsung
memelukku.
Tiba-tiba Pak Iwan masuk, dan aku langsung melepaskan
pelukanku.
“Bayu, gimana keadaan kamu?”
“Mendingan om. Makasih om, udah bawain saya ke
sini,tapi, saya gak mampu membayarnya”
“Udah, kamu gak perlu berfikir soal itu, yang penting
kamu sembuh dulu” Ucap Om Iwan. Aku menundukan kepalaku, aku merasa semakin segan
dengan Om Iwan. Masih ada 1 pertanyaan di kepalaku, aku sakit apa?
“Om, saya sak..
Tiba-tiba seorang suster masuk dan mengatakan bahwa
dokter mau bicara sama Om Iwan, aku tidak bisa melanjutkan ucapanku. Huuhh..
Sudah 3 hari aku di rawat di RS ini, aku bukannya
merasa lebih baik, malah sebaliknya. Semakin hari, kepalaku semakin sakit. Dan,
aku selalu melihat Om Iwan dalam keadaan panik saat penyakitku kambuh.
Zaky dan Fahri gak bisa lepas dari kegiatannya sehari-hari,
katanya buat nambah biaya rawatan aku, aku semakin merasa, kalau aku ini
menyusahkan orang.
Sampai suatu saat, aku gak sengaja mendengar Om iwan
berbicara dengan dokter, mereka beberapa kali menyebut namaku dan kanker otak.
Apa itu nama penyakit yang aku derita? Aww, aku tiba-tiba merasa sakit kepala
itu datang lagi. Kali ini lebih sakit dari sebelumnya. Aku gak kuat. Akhirnya
semuanya menjadi gelap.
***
Perlahan, aku buka mataku. Aku melihat sebuah cahaya
di depanku.
“Ayo, kita pergi.” Cahaya itu mengajakku pergi. Aku
mengikutinya, akhirnya aku sampai di sebuah rumah mewah. Rumah siapa ini? Aku melihat
Zaky, Fahri dan Om Iwan juga ada disana, di tengah ramainya orang, ada sebuah
jasad manusia yang di tutupi kain putih.
“Itu aku?”
“Ya”
Aku juga melihat Suci menangis terisak, sambil
menyebutkan kata “Kakak..”. Apa maksudnya ini? Apa aku ini kakaknya Suci? Itu
artinya, aku adalah anak Om Iwan. Ayah..
Aku gak mampu berkata apa-apa lagi. Aku hanya diam
melihat mereka semua. Sakit, itu yang aku rasa saat semua manusia itu
menangisiku. Dan, yang lebih menyakitkan lagi, saat aku melihat seorang wanita
menangis dalam dekapan Om Iwan, Ia sangat terpukul dengan kepergianku. Ibu..
Inilah keluargaku. Keluarga yang tidak pernah aku
kenal sejak aku mulai hidup di jalanan. Dan sekarang, aku hanya mengenal mereka
tanpa bisa menyentuh mereka. Selamat Tinggal..
Tamat
Casino Site | Live Lucky Club Casino
BalasHapusThe Casino site is home to some of the best online slot games from the top software providers. Lucky Club is one luckyclub.live of the top online casinos available Rating: 5 · 5 reviews